FAKTOR-FAKTOR
YANG MEMPENGARUHI BELAJAR
Secara
umum faktor-faktor yag mempengaruhi proses hasil belajar dibedakan atas dua
kategori, yaitu faktor internal dan faktor eksternal . kedua faktor tersebut
saling memengaruhi dalam proses individu sehingga menentukan kualitas hasil
belajar.
A. faktor internal
Faktor
internal
adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam diri individu dan dapat memengaruhi
hasil belajar individu. Faktor-faktor internal ini meliputi faktor fisiologis
dan faktor psikologis.
1. Faktor fisiologis
Faktor-faktor fisiologis adalah faktor-faktor yang
berhubungan dengan kondisi fisik individu. Faktor-faktor ini dibedakan menjadi
dua macam, yaitu sebagai berikut:
a. keadaan tonus jasmani. Keadaan tonus
jasmani pada umumnya sangat memengaruhi aktivitas belajar seseorang . kondisi
fisik yang sehat dan bugar akan memberikan pengaruh positif terhadap kegiatan
belajar individu. Sebaliknya, kondisi fisik yang lemah atau sakit akan
menghambat tercapainya hasil belajar yang maksimal. Oleh karena itu keadaan
tonus jasmani sangat memengaruhi proses belajar , maka perlu ada usaha untuk
menjaga kesehatan jasmani.
b. keadaan fungsi jasmani atau
fisiologis. Selama proses belajar berlangsung, peran fungsi fisiologis pada
tubuh manusia sangat memengaruhi hasil belajar, terutama panca indra. Panca
indra yang berfunsi dengan baik akan mempermudah aktivitas belajar dengan baik
pula . dalam proses belajar, merupakan pintu masuk bagi segala informasi
yang diterima dan ditangkap oleh manusia. Sehinga manusia dapat menangkap dunia
luar. Panca indra yang memiliki peran besar dalam aktivitas belajar adalah mata
dan telinga.
2.
Faktor psikologis
Faktor
–faktor psikologis adalah keadaan psikologis seseorang yang dapat memengaruhi
proses belajar. Beberapa faktor psikologis yang utama memngaruhi proses belajar
adalah kecerdasan siswa, motifasi , minat, sikap dan bakat.
·
Kecerdasan atau intelegensia siswa
Pada
umumnya kecerdasan diartikan sebagai kemempuan psiko-fisik dalam mereaksikan
rangsaganan atau menyesuaikan diri dengan lingkungan melalui cara yang tepat.
Dengan dmikian, kecerdasan bukan hanya berkaitan dengan kualitas otak saja,
tetapi juga organ-organ tubuh lainnya. Namun bila dikaitkan dengan kecerdasan,
tentunya otak merupakan organ yang penting dibandingkan organ yang lain, karena
fungsi otak itu sebagai organ pengendali tertinggi (executive control) dari
hampir seluruh aktivitas manusia.
Kecerdasan
merupakan faktor psikologis yang paling penting dalam proses belajar siswa,
karena itu menentukan kualitas belajar siswa. Semakin tinggi iteligensi seorang
individu, semakin besar peluang individu tersebut meraih sukses dalam belajar.
Sebaliknya, semakin rendah tingkat intelegensi individu, semakin sulit individu
itu mencapai kesuksesan belajar.
·
Motivasi
Motivasi adalah salah satu factor yang memengaruhi keefektifan
kegiatan belajar siswa. Motivasilah yang mendorong siswa ingin melakukan
kegiatan belajar. Para ahli psikologi mendefinisikan motivasi sebagai proses di
dalam diri individu yang aktif, mendorong, memberikan arah, dan menjaga
perilaku setiap saat (Slavin, 1994). Motivasi juga diartikan sebagai pengaruh
kebutuhan-kebutuhan dan keinginan terhadap intensitas dan arah perilaku
seseorang.
Dari
sudut sumbernya motivasi dibagi menjadi dua, yaitu motivasi intrinsic dan
motivasi ekstrinsik. Motaivasi intrinsic adalah semua factor yang berasal dari
dalam diri individu dan memberikan dorongan untuk melakukan sesuatu. Seperti
seorang siswa yang gemar membaca, maka ia tidak perlu disuruh-suruh untuk
membaca, karena membaca tidak hanya menjadi aktifitas kesenangannya, tapi bisa
jadi juga telah mejadi kebutuhannya. Dalam proses belajar, motivasi intrinsic memiliki
pengaruh yang efektif, karena motivasi intrinsic relatif lebih lama dan tidak
tergantung pada motivasi dari luar(ekstrinsik).
Menurut
Arden N. Frandsen (Hayinah, 1992), yang termasuk dalam motivasi intrinsic untuk
belajar anatara lain adalah:
a. Dorongan ingin tahu dan ingin
menyelisiki dunia yang lebih luas;
b. Adanya sifat positif dan kreatif
yang ada pada manusia dan keinginan untuk maju;
c. Adanaya keinginan untuk mencapai prestasi
sehingga mendapat dukungan dari orang-orang penting, misalkan orang tua,
saudara, guru, atau teman-teman, dan lain sebaginya.
d. Adanya kebutuhan untuk menguasai
ilmu atau pengetahuan yang berguna bagi dirinya, dan lain-lain.
Motivasi ekstrinsik adalah faktor yang dating dari luar diri
individu tetapi memberi pengaruh terhadap kemauan untauk belajar. Seperti
pujian, peraturan, tata tertib, teladan guru, orangtua, dan lain sebagainya.
Kurangnya respons dari lingkungansecara positif akan memengaruhi semangat
belajar seseorang menjadi lemah.
·
Minat
Secara sederhana,minat (interest) bearti kecenderungan dan
kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu. Menurut
Reber (Syah, 2003) minat bukanlah istilah yang popular dalam psikologi
disebabkan ketergantungannya terhadap berbagai faktor internal lainnya, seperti
pemusatan perhatian, keingintahuan, moativasi, dan kebutuhan.
Namun
lepas dari kepopulerannya, minat sama halnya dengan kecerdasan dan motivasi,
karena memberi pengaruh terhadap aktivitas belajar, ia akan tidak bersemangat
atau bahkan tidak mau belajar. Oleh karena itu, dalam konteks belajar di kelas,
seorang guru atau pendidik lainnya perlu membangkitkan minat siswa agar
tertarik terhadap materi pelajaran yang akan dihadapainya atau dipelajaranya.
Untuk
membagkitkan minat belajar tersebut, banyak cara yang bisa digunakan. Anatara
lain, pertama, dengan mebuat materi yang akan dipelajarai semenarik mingkin dan
tidak membosankan, baik dari bentuk buku materi, desai pembelajaran yang
membebaskan siswa mengeksplor apa yang dipelajari, melibatkan seluruh domain
belajar siswa (kognitif, afektif, psikomotorik) sehingga siswa menjadi aktif,
maupun performansi guru yang menarik saat mengajar. Kedua, pemilihan jurusan
atau bidang studi. Dalam hal ini, alangkah baiknya jika jurusan atau
bidang studi dipilih sendiri oleh siswa sesuai dengan minatnya.
·
Sikap
Dalam
proses belajar, sikap individu dapat memengaruhi keberhasilan proses
belajarnya. Sikap adalah gejala internal yang mendimensi afektif berupa
kecenderungan untuk mereaksi atau merespons dangan cara yang relative tetap
terhadap obyek, orang, peristiwa dan sebaginya, baik secara positif maupun
negative (Syah, 2003).
Sikap
siswa dalam belajar dapat dipengaruhi oleh perasaan senang atau tidak senang
pada performan guru, pelajaran, atau lingkungan sekitarnya. Dan untuk
mengantisipasi munculnya sikap yang negative dalam belajar, guru sebaiknya
berusaha untuk menjadi guru yang professional dan bertanggungjawab terhadap
profesi yang dipilihnya. Dengan profesionalitas,seorang guru akan berusaha
memberikan yang terbaik bagi siswanya; berusaha mengambangkan kepribadian
sebagai seorang guru yang empatik, sabar, dan tulus kepada muridnya; berusaha
untuk menyajikan pelajaranyang diampunya dengan baik dan menarik sehingga
membuat siswa dapat mengikuti pelajaran dengan senang dan tidak menjemukan;
meyakinkansiswa bahwa bidang studi yang dipelajara bermanfaat bagi ddiri siswa.
·
Bakat
Faktor psikologis lain yang memengaruhi proses belajar adalah
bakat. Secara umum, bakat (aptitude) didefinisikan sebagai kemampuan potensial
yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan dating
(Syah, 2003). Berkaitan dengan belajar, Slavin (1994) mendefinisikan bakat
sebagai kemampuan umum yang dimilki seorang siswa untauk belajar. Dengan
demikian, bakat adalah kemampuan seseorang menjadi salah satukomponen yang
diperlukan dalam proses belajar seseorang. Apabila bakat seseorang sesuai
dengan bidang yang sedang dipelajarinya, maka bakat itu akan mendukung proses
belajarnya sehingga kemungkinan besar ia akan berhasil.
Pada
dasarnya setiap orang mempunyai bakat atau potensi untuk mencapai prestasi
belajar sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Karena itu, bakat juga
diartikan sebagai kemampuan dasar individu untuk melakukan tugas tertentu tanpa
tergantung upaya pendidikan dan latihan. Individu yang telah mempunyai bakat
tertentu, akan lebih mudah menyerap informasiyang berhungan dengan bakat yang
dimilkinya. Misalnya, siswa yang berbakat dibidang bahasa akan lebih mudah
mempelajari bahasa-bahasa yang lain selain bahasanya sendiri.
Karena
belajar jug dipengaruhi oleh potensi yang dimilki setiap individu,maka para
pendidik, orangtua, dan guru perlu memerhatikan dan memahami bakat yang dimilki
oleh anaknya atau peserta didiknya, anatara lain dengan mendukung,ikut
mengembangkan, dan tidak memaksa anak untuk memilih jurusan yang tidak sesuai
dengan bakatnya.
B. Faktor-faktor eksternal
Selain
karakteristik siswa atau factor-faktor endogen, factor-faktor eksternal juga
dapat memengaruhi proses belajar siswa.dalam hal ini, Syah (2003) menjelaskan
bahwa faktaor-faktor eksternal yang memengaruhi balajar dapat digolongkan
menjadi dua golongan, yaitu factor lingkungan social dan factor lingkungan
nonsosial.
1) Lingkungan social
a. Lingkungan social sekolah, seperti
guru, administrasi, dan teman-teman sekelas dapat memengaruhi proses belajar
seorang siswa. Hubungan harmonis antra ketiganya dapat menjadi motivasi bagi
siswa untuk belajar lebih baikdisekolah. Perilaku yang simpatik dan dapat
menjadi teladan seorang guru atau administrasi dapat menjadi pendorong bagi
siswa untuk belajar.
b. Lingkungan sosial masyarakat. Kondisi
lingkungan masyarakat tempat tinggal siswa akan memengaruhi belajar siswa.
Lingkungan siswa yang kumuh, banyak pengangguran dan anak terlantar juga dapat
memengaruhi aktivitas belajarsiswa, paling tidak siswa kesulitan ketika
memerlukan teman belajar, diskusi, atau meminjam alat-alat belajar yang
kebetulan belum dimilkinya.
c. Lingkungan sosial keluarga.
Lingkungan ini sangat memengaruhi kegiatan belajar. Ketegangan keluarga,
sifat-sifat orangtua, demografi keluarga (letak rumah), pengelolaankeluarga,
semuannya dapat memberi dampak terhadap aktivitas belajar siswa. Hubungan anatara
anggota keluarga, orangtua, anak, kakak, atau adik yang harmonis akan membantu
siswa melakukan aktivitas belajar dengan baik.
2)
Lingkungan non social.
Faktor-faktor yang termasuk
lingkungan nonsosial adalah;
a. Lingkungan alamiah, seperti kondisi
udara yang segar, tidak panas dan tidak dingin, sinar yang tidak terlalu silau
atau kuat, atau tidak terlalu lemah atau gelap, suasana yang sejuk dantenang.
Lingkungan alamiah tersebut mmerupakan factor-faktor yang dapat memengaruhi
aktivitas belajar siswa. Sebaliknya, bila kondisi lingkungan alam tidak
mendukung, proses belajar siswa akan terlambat.
b. Faktor instrumental,yaitu perangkat
belajar yang dapat digolongkan dua macam. Pertama, hardware, seperti gedung
sekolah, alat-alat belajar,fasilitas belajar, lapangan olah raga dan lain
sebagainya. Kedua, software, seperti kurikulum sekolah, peraturan-peraturan
sekolah, bukupanduan, silabi dan lain sebagainya.
c. Faktor materi pelajaran (yang
diajarkan ke siswa). Faktor ini hendaknya disesuaikan dengan usia perkembangan
siswa begitu juga dengan metode mengajar guru, disesuaikan dengan kondisi
perkembangan siswa. Karena itu, agar guru dapat memberikan kontribusi yang
postif terhadap aktivitas belajr siswa, maka guru harus menguasai materi
pelajaran dan berbagai metode mengajar yang dapat diterapkan sesuai dengan
konsdisi siswa.
BELAJAR
DAN PEMBELAJARAN MENURUT PARA AHLI
A. Pengertian
belajar
·
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Belajar adalah berusaha
memperoleh kepandaian atau ilmu, berlatih, berubah tingkah laku atau tanggapan
yang disebabkan oleh pengalaman.
·
Menurut James O. Whittaker dalam Djamarah (1999), Belajar adalah
proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau
pengalaman.
·
Menurut Djamarah, Belajar adalah serangkaian kegiatan jiwa raga
untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman
individu dalam interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut kognitif,
afektif, dan psikomotor.
·
Cronbach (Djamarah, Syaiful Bahri, 1999)
Belajar adalah perubahan yang relatif permanen
dalamperilaku ataupun potensi perilaku sebagai hasil dari pengalaman atau
latihan yang diperkuat. Cronbach di dalambukunya Educational Psychology
menyatakan bahwa: ”Learning is shown by a change in behavior as a result of
experience(Cronbach, 1945)”. Belajar adalah suatu aktifitas yang ditunjukkan
oleh perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Jadi menurut
Cronbach, belajar yang sebaik-baiknya adalah dengan mengalami dan dalam mengalami
itu peserta didik mempergunakan panca inderanya.
·
Howard L. Kingskey ( Djamarah, Syaiful Bahri, 1999)
Belajar adalah proses dimana tingkah laku ditimbulkan
atau diubah melalui praktek atau latihan.
·
Geoch ( Djamarah, Syaiful Bahri , 1999)
Belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai
hasil dari latihan.
·
Drs. Slameto ( Djamarah, Syaiful Bahri , 1999)
Belajar adalah suatu proses usaha yang
dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru
secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri di dalam
interaksi dengan lingkungannya.
·
Susanto (Djamarah, Syaiful Bahri, 1999)
Belajar adalah suatukegiatanyang dilakukan
dengan melibatkan dua unsur yaitu jiwa dan raga.
·
Irawan ( Djamarah, Syaiful Bahri, 1999)
Belajar adalah serangkaian kegiatan jiwa raga
untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman
individu dalam interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut kognitif, afektif
dan psikomotor.
·
R. Gagne ( Djamarah, Syaiful Bahri, 1999)
Belajar adalah suatuproses untuk memperoleh
motivasi dalam pengetahuan, ketrampilan, kebiasaan dan tingkah laku.
·
Thorndike (Djiwandono, 2002)
Belajar adalah asosiasi antara kesan panca
indra dengan impuls untuk bertindak.
·
J. B Watson ( Djiwandono, 2002)
Belajar adalah suatu proses dari konditioning
reflect ( respons) melalui pergantian dari suatu stimulus kepada yang lain.
·
Herbart ( Swiss, 1994)
Belajar adalah suatu proses pengisian jiwa
dengan pengetahuan dan pengalaman yang sebanyak-banyaknya dengan melalui
hafalan.
·
NgalimPurwanto, 1992
Belajar adalah setiap perubahan yang relatif
menetap dalam tingkah laku, yang terjadi sebagi hasil dari suatu latihan atau
pengalman.
Jadi,
secara umum belajar adalah proses serangkaian kegiatan untuk berusaha memperoleh
pengetahuan dan dapat menimbulkan perubahan (tingkah laku, kepandaian, dan
lain-lain) yang berasal dari pengalaman orang seorang yang berhubungan dengan
kognitif, afektif, dan psikomotor.
B. Pengertian
Pembelajaran
·
Dwi Erna R
Pembelajaran adalah interaksi dan proses untuk
mengungkapkan ilmu pengetahuan oleh pendidik dan peserta didik yang
menghasilkan suatu hasil belajar.
·
Slavin
Pembelajaran
di definisikan sebagai perubahan tingkah laku individu yang disebabkan oleh
pengalaman.
·
Woolfolk
Pembelajaran
berlaku apabila sesuatu pengalaman secara relatifnya menghasilkan perubahan
kekal dalam pengetahuan dan tingkah laku.
·
Corey
Pembelajaran
adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk
memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi-kondisi
khusus.
·
Menurut UUNomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas
pembelajaran
adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada
suatu lingkungan belajar.
Jadi,
secara umum Pembelajaran merupakan bantuan yang
diberikan pendidik agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan,
penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik.
Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber
belajar pada suatu lingkungan belajar pembentukan sikap dan kepercayaan pada
peserta didik agar dapat belajar dengan baik. Proses pembelajaran dialami
sepanjang hayat seseorang manusia serta dapat berlaku dimanapun dan kapanpun.
C. Ciri-ciri
Belajar
1) Adanya kemampuan baru atau perubahan.
Perubahan tingkah laku bersifat pengetahuan (kognitif), keterampilan
(psikomotorik), maupun nilai dan sikap (afektif);
2) Perubahan itu tidak berlangsung sesaat saja
melainkan menetap atau dapat disimpan;
3) Perubahan itu tidak terjadi begitu saja
melainkan harus dengan usaha. Perubahan terjadi akibat interaksi dengan
lingkungan;
4) Perubahan itu tidak terjadi semata-mata disebabkan
oleh pertumbuhan fisik atau kedewasaan tidak karena kelelahan, penyakit atau
pengaruh obat-obatan.
Tingkah
laku yang dikategorikan sebagai aktivitas belajar memiliki ciriciri sebagai
berikut:
1) Perubahan
tingkah laku terjadi secara sadar. Suatu
perilaku digolongkan sebagai aktivitas belajar apabila pelaku menyadari
terjadinya perubahan tersebut atau merasakan adanya perubahan dalam dirinya.
2) Perubahan
bersifat kontinyu dan fungsional. Perubahan yang terjadi berlangsung secara
berkesinambungan dan tidak statis. Satu perubahan menyababkan perubahan
selanjutnya yang akan berguna bagi kehidupan atau proses belajar berikutnya.
3) Perubahan
bersifat positif dan aktif. Dikatakan positif apabila perilaku senantiasa
bertambah dan tertuju untuk memperoleh sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya.
Perubahan bersifat aktif berarti bahwa perubahan tidak terjadi dengan
sendirinya, melainkan karena usaha pelaku sendiri.
4) Perubahan
bersifat permanen. Apa yang didapat tidak akan hilang begitu saja, melainkanakan
terus dimiliki bahkan semakin berkembang kalau terus dipergunakan atau dilatih.
5) Perubahan
dalambelajar bertujuan atau terarah. Perubahan tingkah laku dalam belajar
mensyaratkan adanya tujuan yang akan dicapai oleh pelaku belajar terarah kepada
perubahan tingkah laku yang benar-benar disadari.
D. Strategi
Pembelajaran
Strategi belajar
mengajar secara umum ini meliputi :
1) Menetapkanspesifikasi
dan kualifikasi perubahan perilaku pelajar
2) Menentukan
pilihan berkenaan dengan pendekatan terhadap masalah belajar mengajar, memilih
prosedur, metode dan teknik belajar mengajar.
3) Norma
dan kriteria keberhasilankegiatan belajar mengajar. Strategi dapat diartikan
sebagai garis-garis besar haluan untuk bertindak dalamrangka mencapai sasaran
yang telah ditentukan. Dikaitkan dengan belajar mengajar strategi bisa
diartikan sebagai pola-pola umum kegiatan guru, murid dalamperwujudan
kegiatanbelajar mengajar untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
TEORI
BELAJAR BEHAVIORISME
Behaviorisme
merupakan aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena
jasmaniah, dan mengabaikan aspek-aspek mental. Dengan kata lain behaviorisme
tidak mengakui adanya kecerdasan bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu
belajar. Peristiwa belajar hanya semata-mata melalui refleks-refleks sedemikian
rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu.
Beberapa
hukum belajar yang dihasilkan dari pendekatan behaviorisme, sebagai berikut:
a) Connectionism(S-R
Bond) menurut Thorndike
Hukum-hukum
belajar:
§ Law
of effect(hukum pengaruh)
Artinya jika sebuah
respon menghasilkan efek yang memuaskan, maka hubungan stimulus-respon akan
semakin kuat, sebaliknya semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respon, maka
semakin lemah pula hubungan yang terjadi antara stimulus-respon.
§ Low
of readiness(hukum kesediaan/kesiapan)
Artinya bahwa kesiapan
mengacu pada asumsi bahwa kepuasan itu berasal dari pendayagunaan satuan
pengantar(condution unit), dimana unit-unit ini membutuhkan kecenderungan yang
mendorong untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
§ Law
of exercise(hukum latihan)
Artinya bahwa hubungan
antara stimulus dengan respon akan semakin bertambah erat, jika sering dilatih
dan semakin berkurang apabila jarang atau tidak dilatih.
Prinsip-prinsip belajar dari hukum
belajar behaviorisme connectionism :
a. Siswa
harus mampu membuat berbagai jawaban terhadap stimulus (multi respon).
b. Belajar
dibimbing atau diarahkan ke suatu tingkatan yang penting melalui sikap siawa
itu sendiri.
c. Suatu
jawaban yang sudah dipelajari dengan baik dapat digunakan juga terhadap
stimulus yang lain.
d. Jawaban-jawaban
terhadap situasi-situasi baru dapat dibuat apabila siswa melihat adanya analogi
dengan situasi-situasi terdahulu.
e. Siawa
dapat mereaksi secara selektif terhadap faktor-faktor yang esensial di dalam
situasi(prepontent element) itu.
b) Classical
conditioning menurut Ivan Palvov
Hukum-hukum
belajar:
§ Law
of respondent conditioning
Yakni hukum pembiasaan
yang di tuntut jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah
satu berfungsi sebagai reinforce), maka refleks dan stimulus lainnya akan
meningkat.
§ Law
of respondent extinction
Yakni hukum pemusnahan,
jika refleks yang sudah diperkuat melalui respondent conditioning itu
didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan
menurun.
c) Operant
conditioning menurut B.F Skinner
Hukum-hukum belajar:
§ Law
of operant conditioning
Yakni jika timbulnya
perilaku diiringi dngan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan
meningkat.
§ Law
of operant extinction
Yakni jika timbulnya
perilaku operant telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi
stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.
d) Social
learning menurut Albert Bandura
Teori belajar
sosial(social learning) adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru
jika dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan pengaruh
behaviorisme lainnya, Bandura memandang perilaku tidak semata-mata refleks
otomatis atau stimulus(S-R Bond) melainkan juga akibat reaksi yang timbul
sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu
sendiri. Prinsip dasar menurut teori ini, bahwa yang di pelajari individu
terutama dalam belajar social dan moral terjadi melalui peniruan (imitation)
dan penyajian contoh perilaku. Teori ini juga masih memandang pentingnya
conditioning melalui pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berfikir
dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan.
Hamalik, oemar. 2011. Kurikulum
dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara
TEORI
BELAJAR HUMANISTIK
Selain teori belajar behavioristik dan toeri kognitif, teori
belajar humanistik juga penting untik dipahami. Menurut teori humanistik,
proses belajar harus dimulai dan ditujukan untuk kepentingan memanusiakan
manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, teori belajar humanistik sifatnya lebih
abstrak dan lebih mendekati bidang kajian filsafat, teori kepribadian, dan
psikoterapi, dari pada bidang kajian kajian psikologi belajar. Teori humanistik
sangat mementingkan sisi yang dipelajari dari pada proses belajar itu sendiri.
Teori belajar ini lebih banyak berbicara tentang konsep-konsep pendidikan untuk
membentuk manusia yang dicita-citakan, serta tentang proses belajar dalam
bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik pada
penertian belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada pemahaman tentang
proses belajar sebagaimana apa adanya, seperti yang selama ini dikaji oleh
teori-teori belajar lainnya.
Dalam pelaksanaannya, teori humanistik ini antara lain
tampak juga dalam pendekatan belajar yang dikemukakan oleh Ausubel.
Pandangannya tentang belajar bermakna atau “Meaningful learning” yang
juga tergolong dalam aliran kognitif ini, mengatakan bahwa belajar
merupakanasmilasi bermakna. Materi yang dipelajari diasimilasikan dan
dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Faktor motivasi
dan pengalaman emosional sangat penting dalam peristiwa belajar, sebab tanpa
motivasi dan keinginan dari pihak si pelajar, maka tidak akan terjadi asimilasi
pengetahuan baru ke dalam strujtur konitif yang telah dimilikinya. Teori
humanstik berpendapat bahwa belajar apapu dapat dimanfaatkan, asal tujuannya
untuk memanusiakan manusia yaitu mencapai aktualisasi diri, pemahaman diri,
serta realisasi diri orang yang belajar secara optimal.
Pemahamanan terhadap belajar yang
diidealkan menjadikan teori humanistik dapat memanfaatkan teori belajar apapun
asal tujuannya untuk memanusiakan manusia. Hal ini menjadikan teori humanistik
bersifat elektik. Tidak dapat disangkal lagi bahwa setiap pendirian atau pendekatan
belajar tertentu, akan ada kebaikan dan ada pula kelemahannya. Dalam arti ini
elektisisme bukanlah suatu sistem dengan membiarkan unsur-unsur tersebut dalam
keadaan sebagaimana adanya atau aslinya. Teori humanistik akan memanfaatkan
teori-teori apapun, asal tujuannya tercapai, yatu memanusiakan manusia.
Manusia adalah makhluk yang
kompleks. Banyak ahli di dalam menyusun teorinya hanya terpaku pada aspek
tertentu yang sedang menjadi pusat perhatiannya. Dengan
pertimbangan-pertimbangantertentu setiap ahli melakukan penelitiannya dari
sudut pandangnya masing-masing dan menganggap bahwa keterangannya tentang
bagaimana manusia itu belajar adalah sebagai keterangan yang paling memadai.
Maka akan terdapat berbagai teori tentang belajar sesuai dengan pandangan
masong-masing.
Dari penalaran di atas ternyata
bahwa perbedaan antara pandangan yang satu dengan pandangan yang lain sering
kali hanya timbul karena perbedaan sudut pandangan semata, atau kadang-kadang
hanya perbedaan aksentuasi. Jadi keterangan atau pandangan yang berbeda-beda
itu hanyalah keterangan mengenai hal yang satu dan sama dipandang dari sudut
yang berlainan. Dengan demikian teori humanistik dengan pandangannyadengan
pandangannya elektik yaitu dengan cara memanfaatkan atau merangkumkan berbagai
teori belajar dengan tujuan untuk memanusiakan manusia bukan saja mungkin untuk
dilakukan, tetapi justru harus dilakukan.
Banyak tokoh penganut aliran
humanistik, diantaranya adalah Kolb yang terkenal dengan “Belajar Empat
Tahap”nya, honey dan Mumford dengan pembagian tentang macam-macam siswa,
Hubemas dengan “Tiga macam tipe belajar”nya, serta Bloom dan Krathwohl yang
terkenal dengan “Taksonomi Bloom”nya.
1.
Pandangan Kolb terhadap Belajar
Kolb seorang ahli penganut aliran
humanistik membagi tahap-tahap belajar menjadi 4, yaitu :
a.
Tahap pengalaman kongkret
Pada tahap paling awal dalam
peristiwa belajar adalah seseorang mampu atau dapat mengalami suatu peristiwa
atau suatu kejadian sebagaimana adanya. Ia dapat melihat dan merasakannya,
dapat menceritrakan peristiwa tersebut sesuai dengan apa yang dialaminya. Namun
dia belum memiliki kesadaran tentang hakikat dari peristiwa tersebut. Ia hanya
dapat merasakan kejadian tersebut apa adanya, dan belum dapat memahami serta
menjelaskan bagaimana peristiwa itu terjadi. Ia juga belum dapat memahami
mengapa peristiwa tersebut harus terjadi seperti itu. Kemampuan inilah yang
terjadi dan dimiliki seseorang pada tahap paling awal dalam proses belajar.
b.
Tahap pengalaman aktif dan reflektif
Tahap kedua dalam peristiwa belajar
adalah bahwa seseorang makin lama akan semakin mampu melakukan observasi secara
aktifterhadap peristiwa yang dialaminya. Ia mulai berupaya untuk mencari
jawaban dan memikirkan kejadian tersebut. Ia melakukan refleksi terhadap
peristiwa yang dialaminya, dengan mengembangkan pertanyaan-pertanyaan bagaimana
hal itu bisa terjadi, dan mengapa hal itu mesti terjadi dan dimiliki seseorang
pada tahap ke dua dalam proses belajar.
c.
Tahap konseptualisasi
Tahap ke tiga dalam peristiwa
belajar adalah seseorang sudah mulai berupaya untuk membuat abstraksi,
mengembangkan suatu teori, konsep, atau hukum dan prosedur tentang sesuatu yang
menjadi objek perhatiannya. Berfikir induktif banyak dilakukan untuk merumuskan
suatu aturan umum atau generalisasi dari berbagai contoh peristiwa yang
dialaminya. Walaupun kejadian-kejadian yang diamati tampak berbeda-beda, namun
memiliki komponen-komponen yang sama yang dapat dijadikan dasar aturan bersama.
d.
Tahap eksperimentasi aktif
Tahap terakhir dari peristiwa
belajar menurut Kolb adalah melakukan eksperimentasi secara aktif. Pada tahap
ini seseorang seseorang sudah mampu mengaplikasikan konsep-konsep, teori-teori
atau aturan-aturan ke dalam situasi nyata. Berfikir deduktif banyak digunakan
untuk mempraktekkan dan menguji teori-teori serta konsep-konsep di lapangan. Ia
tidak lagi mempertanyakan asal usul teori atau suatu rumus, tetapi ia mampu
menggunakan teori atau rumus-rumus tersebut untuk memecahkan masalah yang
dihadapinya, yang belum pernah ia jumpai sebelumnya.
Tahap-tahap belajar demikian
dilakukan oleh Kolb sebagai suatu siklus yang berkesinambungan dan berlangsung
di luar kesadaran orang yang belajar. Secara teoritis tahap-tahap belajar
tersebut memang dapat dipisahkan, namun dalam kenyataannya proses peralihan
dari suatu tahap ke tahap belajar di atasnya sering kali terjadi begitu saja
sulit untuk ditentukan kapan terjadinya.
2.
Pandangan Honey Dan Mumford Terhadap Belajar
Tokoh teori humanistik lainnya adalah
Honey dan Mumford. Pandangannya tentang belajar diilhami oleh pandangan kolb
mengenai tahap-tahap di atas. Honey dan Mumford menggolong-golongkan orang yang
belajar ke dalam empat macam atau golongan, yaitu kelompok aktivis, golongan
reflektor, kelompok teoritis dan golongan pragmatis. Masing-masing kelompok
memiliki karakteristik yang berbeda dengan kelompok lainnya. Karakteristik tang
dimaksud adalah :
a.
Kelompok aktivis
Orang-orang yang termasuk ke dalam
kelompok aktivis adalah mereka yang senang melibatkan diri dan berpartisipasi
aktif dalam berbagai kegiatan dengan tujuan untuk memperoleh
pengalaman-pengalaman baru. Orang-orang tipe ini mudah diajak berdialog,
memiliki pikiran terbuka, menghargai pendapat orang lain, dan mudah percaya
pada orang lain. Namun dalam melakukan suatu tindakan sering kali kurang
pertimbangan secara matang, dan lebih banyak didorong oleh kesenangannya
untukmelibatkan diri. Dalam kegiatan belajar, orang-orang demikian senang pada
hal-hal yang sfatnya penemuan-penemuanbaru, seperti pemikiran baru, pengalaman
barru dan sebagainya, sehingga metode yang cocok adalah problem solving,
barin storming. Namun mereka akan cepat bosan dengan kegiatan-kegiatan yang
implementasinya memakan waktu lama.
b.
Kelompok reflektor
Mereka yang termasuk dalam kelompok
reflektor mempunyai kecenderungan yang berlawanan dengan mereka yang termasuk
kelompok aktivis. Dalam dalam melakukan suatu tindakan, orang-orang tipe
rflektor sangant berhati-hati dan penuh pertimbangan. Pertimbangan-pertimbangan
baik-buruk dan untung-rugi, selalu memperhitungkan dengan cermat dalam
memutuskan sesuatu. Orang orang demikian tidak mudah dipengaruhi, sehingga
mereka cenderung bersifat konservatif.
c.
Kelompok teoritis
Lain halnya dengan orang-orang tipe
teoritis, merreka memiliki kecenderugan yang sangat keritis, suka menganalisis,
selalu berfikir rasional dengan menggunakan penalarannya. Segala sesuatu sering
dikembalikan kepada teori dan konsep-konsep atau hukum-hukum. Mereka tidak
menyukai pendapat atau penilaian yang sifatnya subjektif. Dalam melakukan atau
memutuskan sesuatu, kelompok teoritis penuh dengan pertimbangan, sangat skeptis
da tidak menyukai hal-hal yang bersifat spekulatif. Mereka tampak lebih tegas
dan mempunyai pendirian yang kuat, sehingga tidak mudah terpengaruh oleh
pendapat orang lain.
d.
Kelompok pragmatis
Berbeda dengan orang-orang tipe
prangmatis, mereka memiliki sifat-sifat praktis, tda suka berpanjang
lebardengan teori-teori, konsep-konsep, dalil-dalil, dan sebagainya. Bagi
mereka yang penting adalah aspek-aspek praktis, sesuatu yang nyata dan dapat
dilaksanakan. Sesuatu hanya bermanfaat jika dapat dipraktekkan. Teori, konsep,
dalil, memang penting, tetapi jika itu semua tidak dapat dipraktekkan maka
teori, konsep, dalil, dan lain-lain itu tidak ada gunanya. Bagi mereka, sesuatu
lebih baik dan berguna jika dapat dipraktekkan dan bermanfaat bagi kehidupan
manusia.
3.
Pandangan Bloom Dan Krathwohl Terhadap Belajar
Selain tokoh-tokoh di atas, Bloom
dan Krathwohl juga termasuk penganut aliran humanis. Mereka lebih menekankan
perhatiannya pada apa yang mesti dikuasai oleh individu (sebagai tujuan
belajar), setelah melalui peristiwa-peristiwa belajar. Tujuan belajar yang
dikemukakannya dirangkum ke dalam tiga kawasan yang dikenal dengan
sebutanTaksonomi Bloom. Melalui taksonomi Bloom inilah telah brhasil memberikan
ispirasi kepada banyak pakar pendidikan dalam mengembangkan teori-teori maupun
peraktek pembelajaran. Pada tataran praktis, taksonomi Bloom ini telah membantu
para pendidik dan guru untuk merumuskan tujuan-tujuan belajar yang akan
dicapai, dengan rumusan yang mudah dipahami. Berpijak pada taksonomi Bloom ini
pula para praktisi pendidikan dapat merancang program-program pembelajarannya.
Setidaknya di Indonesia, taksonomi Bloom ini telah banyak dikenal dan paling
populer di lingkungan pendidikan. Secara ringkas, ketiga kawasan dalam
taksonomi Bloom adalah sebagai berikut :
Domain koognitif, terdiri atas 6 tingkatan, yaitu :
1. Pengetahuan (mengingat, menghafal)
2. Pemahaman (menginterprestasikan)
3. Aplikasi (menggunakan konsep untuk memecahkan
masalah)
4. Analisis (menjabarkan suatu
konsep)
5.
Sintesis (menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi suatu
konsep utuh
6. Evaluasi (membandingkan nilai-nilai, ide,
metode, dsb.
Domain psikomotor, terdiri atas 5 tingkatan, yaitu :
1. Peniruan (menirukan gerak)
2. Penggunaan (menggunakan konsep untuk melakukan
gerak)
3. Ketepatan (melakukan gerak dengan benar)
4. Perangkaian (melakukan beberapa gerakan
sekaligus dengan benar)
5. Naturalisasi (melakukan gerak secara wajar
Domain afektif, terdiri atas 5 tingkatan, yaitu :
1. Pengalaman (ingin menerima, sadar
akan adanya sesuatu)
2. Merespon (aktif berprtisipasi)
3. Penghargaan (menerima nilai-nilai,
setia pada nilai-nilai tertentu)
4. Pengorganisasan
(menghubung-hubungkan nilai-nilai yang dipercayainya)
5. Pengamalan (menjadikan nilai-nilai
sebagai bagian dari pola hidupnya)
Aplikasi Teori Belajar Humanistik Dalam Kegiatan
Pembelajaran
Teori humanistik sering dikritik
karena sukar diterapkan daam konteks yang lebih praktis. Teori ini diangagap
lebih dekat dengan bidang filsafat, teori kepribadian dan psikoterapi dari pada
bidang pendidikan, sehingga sukar menterjemahkannya ke dalam langkah-langkah
yang lebih kongkret dan praktis. Namun karena sifatnya yang ideal, yaitu
memanusiakan manusia, maka teori humanistik mampu memberikan arah terhadap
semua komponen pembelajaran untuk mendukung tercapainya tujuan tersebut.
Semua komponen pendidikan temasuk
tujuan pendidikan diarahkan pada terbentuknya manusia yang ideal, manusia yang
dicita-citakan, yaitu manusia yang mampu mencapai aktualisasi diri. Untuk itu,
sangat perlu diperhatikan bagaimana perkembangan peserta didik dalam
mengaktualisasi dirinya, pemahaman terhadap dirinya, serta realisasi diri.
Pengalaman emosional dan karakteristik khusus individu dalam belajar perlu
diperhatikan oleh guru dalam merencanakan pembelajaran. Karena seseorang akan
dapat belajar dengan baik jika mempunyai pengertian tentang dirinya sendiri dan
dapat membuat pilihan-pilihan secara bebas ke arah mana ia akan berkembang.
Dengan demikian teori humanistik mampu menjelaskan bagaimana tujuan yang ideal
tersebut dapat dicapai.
Teori humanistik akan sangat
membantu para pendidik dalam memahami arah belajar pada dimensi yang lebih
luas, sehingga upaya pembelajaran apapun dan dalam konteks manapun akan selalu
diarahkan dan dilakukan untuk mencapai tujuannya. Meskipun teori humanistik ini
masih sukar diterjemahkan ke dalam langkah-langkah pembelajaran yang praktis
dan operasional, namun sumbangan teori ni amat besar. Ide-ide, konsep-konsep,
taksonomi-taksonomi tujuan yang telah dirumuskannya dapat membantu para pendidik
dan guru untuk memahami hakekat kejiwaan manusia. Hal ini akan dapat membantu
mereka dalam menentukan komponen-komponen pembelajaran seperti perumusan
tujuan, penentuan materi, pemilihan strategi pembelajaran, serta pengembangan
alat evaluasi, ke arah pembentukan manusia yang dicita-citakan tersebut.
Kegiatan pembelajaran yang dirancang
secara sistematis, tahap demi tahap secara ketat, sebagai mana tujuan-tujuan
pembelajaran yang telah dinyatakan secara eksplisit dan dapat diukur, kondisi
belajar yang dapat diatur dan ditentukan, serta pengalaman-pengalaman belajar
yang dipilih untuk siswa, mungkin saja berguna bagi guru tetapi tidak berarti
bagi siswa (Rogers dalam Snelbecker, 1974). Hal tersebut tidak sejalan dengan
teori humanistik. Menurut teori ini, agr belajar bermakna bagi siswa,
diperlukan insiatif dan keterlibatan penuh dari siswa sendiri. Maka siswa akan
mengalami belajar eksperiensial (experiential learning).
Dalam prakteknya teori humanistik
ini cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir induktif, mementingkan
pengalaman, serta membutuhkan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses
belajar. Oleh sebab itu, walaupun secara ekspilsit belum ada pedman baku
tantang langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan humanistik, namun paling
tidak langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan humanistik, namun paling
tidak langkah-langkah pembelajaran yang dikemukakan oleh Suciati dan Prasetya
Irawan (2001) dapat digumakan sebagi acuan. Langkah-langkah yang dimaksud
adalah sebagi berikut :
- Menentukan
tujuan-tujuan pembelajaran.
- Menentukan
materi pembelajaran.
- Mengidentifikasi
kemampuan awal (entri behvior) siswa.
- Mengidentifikasi
topik-topik pelajaran yang memungkinkan siswa secara aktif melibatkan diri
atau mengalami dalam belajar.
- Merancang
fasilitas belajar seperti lingkungan dan media pembelajaran.
- Membimbing
siswa belajar secara aktif.
- Membimbing
siswa untuk memahami hakikat makna dari pengalaman belajarnya.
- Membimbing
siswa membuat konseptualisasi pengalaman belajarnya.
- Membimbing
siswa dalam mengaplikasikan konsep-konsep baru ke situasi nyata.
- Mengevaluasi
proses dan hasil belajar.
TEORI
BELAJAR KOGNITIF
Teori
belajar kognitif berpijak pada tiga hal:
a) Perantara
sentral(central intermdiaries)
Proses-proses pusat
otak (central brain), misalnya ingatan atau ekspetasi merupakan integrator
tingkah laku yang bertujuan. Pendapat ini berdasarkan pada inferensi tingkah
laku yang tampak(diamati).
b) Struktur
kognitif
Bahwa yang dipelajari
adalah fakta, kita mengetahui dimana adanya, yang mengetahui alternate routes
illustratis cognitive structure. Variabel tingkah laku nonhabitual adalah
struktur kognitif sebagai bagian apa yang dipelajari.
c) Pemahaman
dalam pemecahan masalah
Pemecahan suatu masalah
ialah dengan cara menyajikan pengalaman lampau dalam bentuk struktur yang
mendasari terjadinya insight(pemahaman) dimana adanya pengertian mengenai
hubungan-hubungan esensial. Prefensi yang digunakan adalah the contemporary
structuring of the problem.
Prinsip-prinsip belajar kognitif:
a. Gambaran
perseptual sesuai dengan masalah yang dipertunjukkan kepada siswa adalah
kondisi belajar yang penting. Suatu masalah belajar yang terstruktur dan
disajikan upaya gambaran. Gambaran yang esensial terbuka terhadap inspeksi dari
siswa.
b. Organisasi
pengetahuan harus merupakan sesuatu yang mendasar bagi guru atau perencana.
Susunannya dari yang sederhana ke yang kompleks, dalam arti dari keseluruhan
yang lebih kompleks. Masalah bagian keseluruhan adalah masalah organisasi, dan
tidak bertalian dengan teori pola kompleksitas. Sesuai dengan pandangan
mengenai pertumbuhan kognitif, maka organisasi pengetahuan tergantung pada
tingkat perkembangan siswa.
c. Belajar
dengan pemahaman (understanding) adalah lebih permanen(tetap) dan lebih memungkinkan
untuk ditransferkan, dibandingkan dengan rote learning atau belajar dengan
formula. Berbeda dengan teori stimulus respon, teori yang menitikberatkan pada
pentingnya kebermaknaan dalam belajar dan mengingat(retention).
d. Umpan
balik kognitif mempertunjukkan pengetahuan yang benar dan tepat dan mengoreksi
kesalan belajar. Siswa menerima atau menolak sesuatu berdasarkan konskuensi
dari apa yang telah diperbuatnya. Dalam hal ini kognitif setara dengan
penguatan (reinforcement) pada S-R theory, tetapi teori kognitif cenderung
menempatkan titk beratnya pada pengujian hipotesis melalui umpan balik.
e. Penempatan
tujuan (goal-setting) penting sebagai motivasi belajar. Keberhasilan dan
kegagalan menjadi hal yang menentukan cara yang menetapkan tujuan untuk waktu
yang akan datang.
f. Berpikir
devergen menuju ditemukannya pemecahan masalah atau keterciptanya produk yang
bernilai damn menyenangkan. Berbeda dengan berpikir konvergen yang menuju ke
mendapatkan jawaban-jawaban yang benar secara logika. Berpikir devergen menuntut
dukungan (umpan balik) bagi upaya tentatif seseorang yang orisinal agar supaya
dapat mengamati dirinya sebagai kreatif potensial.
Tokoh-tokoh dari teori belajar
kognitif:
1. Teori Belajar Cognitive Developmental Dari Piaget
Dalam teorinya, Piaget memandang
bahwa proses berpikir sebagai aktivitas gradual dari fungsi intelektual dari
konkret menuju abstrak. Piaget adalah ahli psikolog developmental karena
penelitiannya mengenai tahap tahap perkembangan pribadi serta perubahan umur
yang mempengaruhi kemampuan belajar individu. Menurut Piaget, pertumbuhan
kapasitas mental memberikan kemampuan-kemapuan mental yang sebelumnya tidak
ada. Pertumbuhan intelektual adalah tidak kuantitatif, melainkan kualitatif.
Dengan kata lain, daya berpikir atau kekuatan mental anak yang berbeda usia
akan berbeda pula secara kualitatif.
Jean Piaget mengklasifikasikan
perkembangan kognitif anak menjadi empat tahap :
a) Tahap sensory – motor, yakni
perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 0-2 tahun, Tahap ini
diidentikkan dengan kegiatan motorik dan persepsi yang masih sederhana.
b) Tahap pre – operational,
yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 2-7 tahun. Tahap ini
diidentikkan dengan mulai digunakannya simbol atau bahasa tanda, dan telah
dapat memperoleh pengetahuan berdasarkan pada kesan yang agak abstrak.
c) Tahap concrete – operational,
yang terjadi pada usia 7-11 tahun. Tahap ini dicirikan dengan anak sudah mulai
menggunakan aturan-aturan yang jelas dan logis. Anak sudah tidak memusatkan
diri pada karakteristik perseptual pasif.
d) Tahap formal – operational,
yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 11-15 tahun. Ciri
pokok tahap yang terahir ini adalah anak sudah mampu berpikir abstrak dan logis
dengan menggunakan pola pikir “kemungkinan”.
Dalam
pandangan Piaget, proses adaptasi seseorang dengan lingkungannya terjadi secara
simultan melalui dua bentuk proses, asimilasi dan akomodasi. Asimilasi terjadi
jika pengetahuan baru yang diterima seseorang cocok dengan struktur kognitif
yang telah dimiliki seseorang tersebut. Sebaliknya, akomodasi terjadi
jika struktur kognitif yang telah dimiliki seseorang harus direkonstruksi
atau di kode ulang disesuaikan dengan informasi yang baru diterima.
Dalam
teori perkembangan kognitif ini Piaget juga menekankan pentingnya penyeimbangan
(equilibrasi) agar seseorang dapat terus mengembangkan dan menambah
pengetahuan sekaligus menjaga stabilitas mentalnya. Equilibrasi ini dapat
dimaknai sebagai sebuah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sehingga
seseorang dapat menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamya. Proses
perkembangan intelek seseorang berjalan dari disequilibrium menuju equilibrium
melalui asimilasi dan akomodasi
2. Jerome Bruner Dengan Discovery Learningnya
Bruner
menekankan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru
memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan,
atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupan. Bruner
meyakini bahwa pembelajaran tersebut bisa muncul dalam tiga cara atau bentuk,
yaitu: enactive, iconic dan simbolic. Pembelajaran enaktif
mengandung sebuah kesamaan dengan kecerdasan indrawi dalam teori Piaget. Pengetahuan
enaktif adalah mempelajari sesuatu dengan memanipulasi objek, melakukan
pengatahuan tersebut daripada hanya memahaminya. Anak-anak didik sangat mungkin
paham bagaimana cara melakukan lompat tali (‘melakukan’ kecakapan tersebut),
namun tidak terlalu paham bagaimana menggambarkan aktifitas tersebut dalam
kata-kata, bahkan ketika mereka harus menggambarkan dalam pikiran. Pembelajaran
ikonik merupakan pembelajaran yang melalui gambaran; dalam bentuk ini,
anak-anak mempresentasikan pengetahuan melalui sebuah gambar dalam benak
mereka. Anak-anak sangat mungkin mampu menciptakan gambaran tentang pohon
mangga dikebun dalam benak mereka, meskipun mereka masih kesulitan untuk
menjelaskan dalam kata-kata. Pembelajaran simbolik, ini merupakan
pembelajaran yang dilakukan melalui representasi pengalaman abstrak (seperti
bahasa) yang sama sekali tidak memiliki kesamaan fisik dengan pengalaman
tersebut. Sebagaimana namanya, membutuhkan pengetahuan yang abstrak, dan karena
simbolik pembelajaran yang satu ini serupa dengan operasional formal dalam
proses berpikir dalam teori Piaget.
Jika
dikorelasikan dengan aplikasi pembelajaran, Discovery learningnya Bruner dapar
dikemukakan sebagai berikut:
a) Belajar merupakan kecenderungan
dalam diri manusia, yaitu Self-curiousity (keingintahuan) untuk
mengadakan petualangan pengalaman.
b) Belajar penemuan terjadi karena
sifat mental manusia mengubah struktur yang ada. Sifat mental tersebut selalu
mengalir untuk mengisi berbagai kemungkinan pengenalan.
c) Kualitas belajar penemuan diwarnai
modus imperatif kesiapan dan kemampuan secara enaktif, ekonik, dan simbolik.
d) Penerapan belajar penemuan hanya
merupakan garis besar tujuan instruksional sebagai arah informatif.
e) Kreatifitas metaforik dan creative
conditioning yang bebas dan bertanggung jawab memungkinkan kemajuan.
3. Teori Belajar Bermakna Ausubel
Psikologi pendidikan yang diterapkan
oleh Ausubel adalah bekerja untuk mencari hukum belajar yang bermakna, berikut
ini konsep belajar bermakna Menurut Ausubel ada dua jenis belajar yaitu Belajar
bermakna (meaningful learning) dan belajar menghafal (rote learning).
Belajar bermakna adalah suatu proses belajar di mana informasi baru dihubungkan
dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar.
Sedangkan belajar menghafal adalah siswa berusaha menerima dan menguasai bahan
yang diberikan oleh guru atau yang dibaca tanpa makna. Sebagai ahli psikologi
pendidikan Ausubel menaruh perhatian besar pada siswa di sekolah, dengan
memperhatikan atau memberikan tekanan-tekanan pada unsur kebermaknaan dalam
belajar melalui bahasa (meaningful verbal learning). Kebermaknaan
diartikan sebagai kombinasi dari informasi verbal, konsep, kaidah dan prinsip,
bila ditinjau bersama-sama. Oleh karena itu belajar dengan prestasi hafalan
saja tidak dianggap sebagai belajar bermakna. Maka, menurut Ausubel supaya
proses belajar siswa menghasilkan sesuatu yang bermakna, tidak harus siswa
menemukan sendiri semuanya. Ia juga berpendapat bahwa pemerolehan informasi
merupakan tujuan pembelajaran yang penting dan dalam hal-hal tertentu dapat
mengarahkan guru untuk menyampaikan informasi kepada siswa. Dalam hal ini guru
bertanggung jawab untuk mengorganisasikan dan mempresentasikan apa yang perlu
dipelajari oleh siswa, sedangkan peran siswa di sini adalah menguasai yang
disampaikan gurunya. Belajar dikatakan menjadi bermakna (meaningful learning)
yang dikemukakan oleh Ausubel adalah bila informasi yang akan dipelajari
peserta didik disusun sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki peserta
didik itu sehingga peserta didik itu mampu mengaitkan informasi barunya dengan
struktur kognitif yang dimilikinya.
Hamalik, oemar. 2011. Kurikulum
dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara
TEORI
BELAJAR KONSTRUKTIVISME
Pinsip
belajar menurut teori belajar konstruktivisme yaitu pengetahuan baru di
konstruksi semdiri oleh peserta didik secra aktif berdasarkan pengetahuan yang
telah diperoleh sebelumnya. Pendekatan konstruktivisme dalam proses pembelajaran
didasari oleh kenyataan bahwa tiap individu memiliki kemampuan untuk
mengkonstruksi kembali pengalaman atau pengetahuan yang telah diterimanya. Oleh
sebab itu dapat dikatakan bahwa pembelajaran yang melibatkan peserta didik
untuk membina sendiri secara aktif pengetahuan dengan menggunakan pengetahuan
yang telah ada dalam diri mereka masing-masing. Dalam teori belajar
konstruktivisme guru hanya sebagai fasititas atau pencipta kondisi belajar yang
memumgkinkan peserta didik secara aktif mencari sendiri informasi,
mengasimilasi, dan mengadaptasi sendiri informasi, dam mengkonstruksinya
menjadi pengetahuan yang baru berdasarkan pengetahuan yang telah dimiliki
masing-masing.
Berikut
peranan guru dan peserta didik dalam teori belajar konstruktivisme:
a. Peranan
guru
1) Mendorong
peserta didik agar masalah atau pokok pikiran yang di kemukakannya sejelas
mungkin agar teman sekelasnya dapat turut serta menganalis dan menjawabnya.
2) Merancang
skenario pembelajaran agar peserta didik merasa bertanggung jawab sendiri dalam
kegiatan belajarnya.
3) Membantu
peserta didik dalam penyelesaian suatu masalah atau pokok pikiran apabila
mereka mengalami jalan buntu.
4) Mendorong
peserta didik agar mampu mengemukakan atau menemukan masalah atau pokok pikiran
untuk diselesaikan dalam proses pembelajaran di kelas.
5) Mendorong
peserta didik untuk belajar secara kooperatif dalam menyelesaikan suatu masalah
atau pokok pikiran yang berkembang di kelas.
6) Mendorong
peserta didik agar secara aktif mengerjakan tugas-tugas yang menuntut proses
analisis, sintesis, dan simpulan penyelesaian.
7) Mengevaluasi
hasil belajar peserta didik, baik dalam bentuk penilaian proses maupun dalam
proses penilaian produk.
b. Peranan
peserta didik
1) Berinisiatif
mengemukakan masalah dan pokok pikiran , kemudian menganalisis dan menjawabnya
sendiri.
2) Bertanggung
jawab sendiri terhadap kegiatan belajarnya atau penyelesaian suatu masalah.
3) Secara
aktif bersama dengan teman sekelasnya mendiskusikan penyelesaian masalah atau
pokok pikiran yang mereka munculkan dan apabila dirasa perlu dapat menayakan
kepada guru.
4) Atas
inisiatif sendiri, dan mandiri berupaya memperoleh pemahaman yang mendalam
(deep understanding) terhadap suatu topik.
5) Secara
langsung belajar saling mengukuhkan pemikiran diantara mereka, sehingga jiwa
sosial mereka menjadi saling dikembangkan.
6) Secara
aktif mengajukan dan menggunakan berbagai hipotesis(kemungkinan jawaban) dalam
memecahkan suatu masalah.
7) Secara
aktif menggunakan berbagai data atau informasi pendukung dalam penyelesaian
suatu masalah atau pokok pikiran yang dimunculkan oleh teman sekelas.
Menurut para ahli:
1. Tasker
(1992:30)
Tasker mengemukakan
tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme, yaitu:
a. Peran
aktif peserta didik dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna.
b. Pentingnya
membuat kaitan antara gagasan dan pengkonstruksian secara bermakna.
c. Mengaitkan
antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.
2. Wheatley
(1991:12)
Prinsip pembelajaran
dengan teori belajar konstruktivime:
a. Pengetahuan
tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif
peserta didik.
b. Fungsi
kognitif bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman
nyata yang dimiliki anak.
Secara umum,
melalui pembelajaran konstruktivisme, peserta didik diharapkan dapat tumbuh
kembang menjadi individu yang penuh kepercayaan diri yang mempunyai sifat-sifat
antara lain:
a. Bersifat
terbuka dalam menerima semua pengalaman dan mengembangkannya menjadi persepsi
atau pengetahuan yang baru dan selalu di perbaharui.
b. Percaya
diri sehingga dapat berperilaku secara tepat dalam menghadapi segala sesuatu.
c. Berperasaan
bebas tanpa merasa terpaksa dalam melakukan segala sesuatu tanpa mengharapkan
atau tergantung pada bantuan orang lain.
d. Kreatif
dalam mencari pemecahan masalah atau dalam melakukan tugas yang dihadapinya.
Kelebihan dan Kekurangan teori
belajar Konstruktivisme:
A) Kelebihan
·
Teori ini dalam proses
berfikir membina pengetahuan baru, membantu siswa untuk mencari ide,
menyelesaikan masalah dan membuat keputusan.
·
Teori ini dalam proses
pemahamannya peserta didik terlibat secara langsung dalam membina pengetahuan
baru.
·
Proses pengingatan
peserta didik terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan mengingat
lebih lama semua konsep.
·
Kemahiran sosial siswa
dapat dengan mudah berinteraksi dengan teman dan guru dalam membina pengetahuan
baru.
B) Kekurangan
·
Peserta didik membuat
pengetahuan dengan ide mereka masing-masing oleh karena itu pendapat peserta
didik berbeda dengan pendapat para ahli.
·
Teori ini menanamkan
agar peserta didik membangun pengetahuannya sendiri, hal ini pasti membutuhkan
waktu yang lama apalagi untuk peserta didik yang malas.
·
Kondisi di setiap sekolahpun mempengaruhi keaktifan
siswa dalam membangun pengetahuan yang baru.
Hamalik, oemar. 2011. Kurikulum
dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara
0 komentar :
Posting Komentar